Bab 1162
Bab 1162
Bab 1162 Sembuh
Raditya tengah berada di markas paling rahasia saat ini. Tempat itu memiliki sistem pelacak paling canggih, dan isinya adalah orang–orang paling terkemuka dari yang paling terkemuka. Mereka juga biasa melacak orang–orang jenius.
Orang–orang itu tengah mengamati sebuah rekaman Definisi Tinggi, dan Teddy menyadari sesuatu. Dia menjeda rekaman itu dan memperbesar layarnya. “Pak, pakaiannya berubah, tapi dia lupa merubah satu hal.” Dia memperbesar layar dan menunjukkan tato di belakang telinga pria itu. “Dia adalah penembaknya.”
Foto yang mereka ambil dari tempat kejadian menunjukkan adanya musuh–musuh bersenjata. Suasananya gelap dan kacau. Para musuh bersembunyi di tengah kegelapan, namun berkat satelit, mereka bisa melihat sekilas para musuh itu. Yang perlu mereka lakukan mencari detail dan menunjukkan lokasi orang–orang ini.
“Lacak dia dan tangkap orangnya,” perintah Raditya.
Jangkauannya sangat besar, dan misi ini juga sangat penting, namun semua orang melakukan tugas mereka secara sembunyi–sembunyi dan membuat laporan tentang kemajuan mereka. Ada belasan layar yang tengah menampilkan rekaman pengawas di sini. Raditya mengenakan pakaian seperti biasanya, sebuah baju kamuflase berwarna gelap. Dirinya menguarkan aura memerintah
saat itu.
Kesabaran dan pencarian yang mendetail dibutuhkan dalam pelacakan ini, dan orang–orangnya mampu melakukan itu semua.
Hari esok akhirnya tiba.
Raisa sedang makan siang bersama Rendra di rumah sakit. Meskipun dia terluka, dia memiliki selera makan yang cukup baik.
“Saya memesan ini untukmu. Kamu akan membutuhkannya untuk menambah darahmu.” Content bel0ngs to Nôvel(D)r/a/ma.Org.
“Hati sapi?” Matanya terbelalak sebelum dia menolaknya. “Saya tidak suka makan jeroan.”
Raisa meletakkan sepotong hati sapi ke dalam mangkoknya. “Makanlah sedikit. Ini baik untukmu. Kamu membutuhkan obat dan makanan untuk sembuh, jadi jangan pilih–pilih makanan.”
Rendra mengerutkan dahinya. Kelihatannya meminta dia menelan sepotong hati sapi jauh lebih buruk daripada tertembak.
Raisa memakan sepotong hati sapi itu. Dia lalu mengangguk. “Rasanya tidak buruk juga.”
Bagaimanapun juga, dia harus memakannya. Mengejutkannya, koki rumah sakit benar–benar mahir memasak. Rasanya tidak seburuk yang dia kira.
Dia terus mengisi mangkoknya dengan makanan, Rendra berhenti memilih–milih makanannya untuk memastikan wanita itu tidak mengkhawatirkannya.
Raisa mengambil sebuah piring berukuran besar dan menyuapinya buah–buahan setelah itu.
Kalau begini terus, berat badan saya bisa naik beberapa kilo saat saya sembuh nanti.
“Makanlah ceri ini. Buah ini baik untuk darahmu. Makanlah lebih banyak.” Dia menyuapinya
sebuah ceri.
“Lupakan soal darah, saya pikir saya ingin mengisi ulang sesuatu.” Dia memakan ceri itu dan mengisyaratkan sesuatu padanya.
Raisa menatap matanya dan memahami apa yang sedang dia bicarakan. Dia menggelengkan kepalanya dan menatapnya dengan serius. “Berhenti memikirkan hal itu.”
Rendra menatapnya dengan jengkel. Seberapa lemah diri saya menurutnya? “Apa kamu pikir saya tidak bisa ‘membangunkannya?” Dia memicingkan matanya sementara udara di sekitar mereka mulai dipenuhi dengan alarm bahaya.
Rasanya jika wanita itu mengatakan iya, dia akan membuktikan kalau dia masih bisa ‘membangunkannya. Rendra mengalami kendala di bagian itu karena perbedaan usia mereka. Dia tidak pernah melakukannya sebelumnya, namun dia tahu kalau dirinya pasti hebat di ranjang.
Raisa menatap lantai dan mengerjapkan matanya, lalu dia menggelengkan kepalanya malu–malu.
Rendra mengambil sebuah ceri dan bertanya, “Mau ceri?”
Oh, dia ingin menyuapi saya. Raisa menunduk lebih dekat dan membuka mulutnya, namun Rendra tidak menyuapinya ceri. Pria itu justru mencium bibirnya. Pasangan itu mulai bercumbu di dalam kamar rawat.
Emir ingin segera bertemu dengan Rendra agar surat liburnya bisa segera ditandatangani. Karena terlalu bersemangat, dia sampai lupa mengetuk pintu. Saat dia masuk, hal pertama yang dilihatnya adalah ciuman itu. Oh, sial. Saya tidak seharusnya melihat hal ini. Saya masih lajang. Jangan lukai perasaan saya. Dia menyadari tatapan berbahaya yang diberikan Rendra ke arahnya, dan Emir diam membeku. “Maaf. Silahkan dilanjut. Maaf.”
Raisa menggigit bibirnya dan menatap ke arah ranjang. Tidak, masuklah, Emir.” Dan dia kemudian pergi dari sana.