Empat bayi Kembar Kesayangan Ayah Misterius

Bab 31



Bab 31

Bab 31

Bayangan Asta yang tinggi berdiri tegak di hadapannya, memakai mantel mandi berwarna hitam tampak anggun dan sangat seksi.

Dengan pengalaman bertahun tahun duduk di posisi yang tinggi, menyebabkan pandangan pria tersebut penuh wibawa keras dan dingin.

Kemunculan Asta, menyebabkan Samara terkejut sampai melongokan mulut kecilnya.

Dibawah tatapan Asta yang mencurigakan, Samara tidak tahu bagaimana dia harus menjelaskan mengapa dirinya tidak tidur dan berkeliaran di koridor di tengah malam.

Samara meringkuk sambil memeluk lututnya sendiri, tidak bangkit berdiri, mirip seekor anak kucing yang sedang waspada terhadap musuh.

“Kamu…..apa urusannya denganmu?”

Tetapi baru selesai perkataan Samara, telah terdengar sebuah sambaran petir yang mengpetir, suara petir yang menggetarkan telinga menyebabkan tubuh Samara gemetaran.

Pikiran Samara plong bagaikan kertas putih sama sekali tidak dapat berpikir, detik selanjutnya tanpa mengindahkan apapun dia memeluk erat paha di hadapannya, mengikuti instingnya dia menempelkan wajah mungilnya ke paha pria tersebut.

“Tidak….jangan……”

Pandangan Asta menjadi berat, dia mengawasi wanita mungil yang berada di bawah tubuhnya.

Barusan wanita mungil ini masih mengabaikannya, sekarang memeluk pahanya dengan begitu

erat.

Wanita ini memakai mantel tidur yang tersedia untuk tamu, tetapi sangat jelas untuk dibawa tidur dia sama sekali tidak memakai sehelai benangpun di bawah mantel tidurnya. Sekarang tubuh hangat wanita ini menempel dengan erat di pahanya, pahanya yang kukuh dapat merasakan postur tubuhnya yang ramping dan lembut, ini…..posisi ini seketika membangkitkan

hasratnya

Lepaskan tanganmu.”

Samara menatapnya dengan pandangan bimbang, dia merasa telah kehilangan harga diri di hadapan Asta Content © copyrighted by NôvelDrama.Org.

Saat dia baru mau melepaskan pelukan di paha pria tersebut, sekali lagi terdengar suara petir yang menggelegar, menggetarkan dan sama sekali tidak mengenal ampun.

Keberanian Samara seketika pupus, bukannya melepaskan pelukan di paha pria itu, justru pelukannya bertambah erat…..seolah olah ingin bersatu dengan dirinya.

Suara petir yang menggelegar.

Asta dapat merasakan tubuh wanita mungil di bawah kakinya ini bagaikan seekor anak kucing yang ketakutan, sama sekali tidak berani bergerak.

“Lepaskan tanganmu.”

“Tidak.”

“Jangan sampai saya mengulang untuk ketiga kalinya.”

“Kamu mengulang sampai empat kali juga tidak berguna,” Kenangan pahit malam itu melintas dalam benak Samara, bahkan menyebabkan dia mengoceh tak karuan: “Saya mohon….jangan tinggalkan saya…. Ibu….. Ibu….jangan tinggalkan saya.”

Tampak kebimbangan di mata Asia yang gelap dan tajam.

Mengetahui wanita mungil di bawah tubuhnya ini tidak mempunyai maksud untuk menggodanya.

Dengan polos dia hanya menganggapnya sebagai tempat untuk bersandar, melewati masa masa pahit yang sangat membekas dalam ingatannya.

Tetapi ……

Wanita ini memang tidak bermaksud untuk menggodanya, tetapi nafsu liarnya yang baru berhasil diredam dengan mandi air dingin, sekali lagi bangkit dengan tidak terkendali.

Bagian tubuhnya menjadi tegang, walaupun dia tidak memaksa melepaskan tubuh wanita mungil dengan kasar, tetapi dia mengepal tinjunya dengan semakin erat, lengannya menunjukkan urat urai berwarna hijau.

Setelah sekian lama, akhirnya suara petir berhenti menggelegar.

Ketika Samara tersadar kembali dari ingatan yang menyakitkan, dia baru menyadari semua tindakannya yang begitu memalukan sekali.

Tangan kecilnya dengan pelan pelan mengendorkan pelukan pada paha pria tersebut, tetapi suasana telah menjadi begitu hening dan penuh tekanan.

Samara merapikan pakaiannya yang kusut, dan bangkit berdiri dengan perlahan, tidak berani menatap sepasang mala tajam dan dingin pria itu.

Asta telah menyuruhnya untuk mengendorkan pelukan, dia yang tidak tahu malu terus memaksa memeluknya, menurut logika yang berlaku saat itu semua tindakan yang dia lakukan

membuktikan dia yang melecehkan Asta dan bukan sebaliknya.

Samara sangat ingin berlagak bisu, dia tahu dirinya tidak bisa menghindar lagi terpaksa harus memberi penjelasan kepada pria itu.

“Maaf…. maafkan saya…..saya harap Anda tidak salah paham, saya takut terhadap suara petir yang menggelegar sehingga bertindak tidak sopan seperti itu.”

“Kamu pikir saya butuh permintaan maaf darimu?” wajah Asta dingin bagaikan es, sepasang mata tajam dingin bagaikan benua kutub.

“Asta, saya tahu kalau suasana hatimu pasti menjadi buruk, tetapi saya tetap harus menyampaikan permintaan maaf saya kepadamu.”

Samara sama sekali tidak bisa menerka apa yang dipikirkan oleh pria ini, dia mengira sudah meminta maaf sehingga cepat cepat berbalik badan ingin melarikan diri dari tempat itu.

Tetapi, siapa sangka, Asta sebenarnya telah menargetkan dirinya, belum sempat dia melangkah, tubuhnya sudah ditarik masuk ke pelukan pria yang berdiri di belakangnya itu.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.