Bab 584
Bab 584
Setelah meleset sekali, Selena Bennett sedikit kecewa.
“Nggak apa–apa, masih banyak kesempatan.”
“Iya.”
Selena mencoba beberapa kali berturut–turut. Dia adalah wanita yang cukup kuat, jadi tingginya seharusnya tidak menjadi masalah.
Setiap kali dia mencoba mengikatnya, tali itu akan tergelincir begitu menyentuh dahan, atau
melewatinya.
Selama lima kali mencoba, tidak satu pun yang berhasil.
Jatuh
Dia berpikir, mungkin Tuhan merasa dia tidak bersungguh–sungguh dalam berdoa, jadi permintaannya
tidak dikabulkan.
Lagipula, Harvey masih memiliki lima kertas lagi. Bagi seorang pria, itu seharusnya hal yang mudah.
bukan?
Dia mengedikkan bahu. “Terserah kamu.”
Harvey melemparkan seutas tali ke atas. Dia melemparnya dengan sangat tinggi, jelas ingin menggantungkan kertas itu di tempat tertinggi.
Dia mengontrol kekuatan dan sudut dengan baik. Anehnya, meskipun kertas itu menggantung, simpul talinya perlahan–lahan mengendur hingga kertas itu jatuh.
Melihat ekspresi dingin di wajah Harvey, Selena segera menghiburnya. “Kejadian yang nggak terduga.
kamu pasti akan berhasil, coba lagi.”
Harvey melemparkan tali sebanyak empat kali berturut–turut. Hasilnya hampir sama dengan percobaan pertama, tali terikat tetapi simpulnya tak pernah bertahan lama.
Bahkan para pedagang di sebelahnya terkejut, mereka awalnya tidak percaya kalau pohon ini memiliki keajaiban, tetapi orang lain dengan mudah berhasil memasangnya hanya dengan satu kall percobaan. Tidak seperti Harvey yang gagal dalam sembilan kesempatan.
Di tangan Harvey masih tersisa satu kertas lagi, wajahnya sudah menjadi tegang dan mengerikan.
Selena tertawa kecil dan mencoba untuk meredakan situasi.
AIS BONUS
Namun, Harvey melewati pagar dan langsung pergi ke bawah pohon.
Telapak tangannya menempel pada kulit pohon yang dingin, dia membelakangi semua orang, sehinggal
tidak terlihat apa sedang dia lakukan. Content © copyrighted by NôvelDrama.Org.
Beberapa detik kemudian, dia melempar tali lagi.
Sebuah lemparan yang menggetarkan hati semua orang. Ketika simpul itu terikat dan kertasnya
tergantung di dahan pohon, Selena merasa sangat senang bak menonton sepak bola nasional yang
mencetak gol.
“Berhasil!”
Wajah dingin Harvey akhirnya menunjukkan sedikit senyuman, “Ya.”
Dia pun keluar dari pagar. “Ayo pergi.”
Harvey pun pergi sambil menggenggam tangan Selena. Kemudian angin bertiup kencang ke arah
mereka.
Selena merasa kedinginan dan mengerutkan lehernya.
Lonceng yang tergantung di pohon jodoh berbunyi nyaring, lalu selembar kertas tertiup angin.
Tiba–tiba terdengar suara gemerisik nyaring dan sesuatu mendarat di dekat kaki mereka.
Selena menunduk dan melihat ke bawah. Ternyata itu adalah simpul jodoh yang baru saja digantung
tadi.
Ketika mereka melihat simpul jodoh di pohon itu, semuanya tergantung kokoh meski terombang– ambing
ke kiri dan ke kanan oleh angin, kecuali milik mereka.
Bosnya pun menggaruk–garuk kepala dan bergumam. “Hari ini beneran aneh.”
Harvey hanya diam. Wajahnya seperti diselimuti es, dan suhu ruangan turun beberapa derajat dalam
sekejap.
“Ah, ini pasti kebetulan saja. Jangan dimasukkan ke hati.” Selena selalu merasa seperti mereka sedang
menghadapi bencana akhir dunia.
Dia membelai rambut Selena dengan lembut dan tersenyum ringan. “Ini cuma permainan anak–anak,
kenapa aku harus menganggapnya serius? Ayo pulang.”
Selena baru merasa lega setelah melihatnya tersenyum. Dia mengambil simpul jodoh yang tergeletak di
tanah. “Baiklah, ayo kita simpan ini sebagai kenangan.”
“Baiklah.”
Harvey tidak menoleh, Selena juga tidak memasukkannya ke dalam hati.
Hingga pukul tiga dini hari.
Alex mengangkat sekopnya dengan bingung dan bertanya, “Tuan Harvey, apa yang terjadi dengan pohon ini? Aku dengar dulu saat membangun alun–alun, pohon ini harus ditebang. Tapi, sepuluh ekskavator yang didatangkan malah rusak sebelum mulai bekerja. Orang–orang pun menganggapnya sebagai pohon keramat dan membiarkannya. Kenapa sekarang kamu ingin menebangnya?”
Harvey dengan santai mengembuskan asap rokok dari mulutnya, lengannya bersandar di jendela mobil dengan santai, dan cahaya merah berkedip–kedip di sela dua jarinya.
Bibir tipisnya dengan santai melontarkan dua kata. “Mengganggu saja.”